Chapter 1
Aku
adalah aku,
Dan
setiap kali kau melihatku,
Maka
aku adalah yang kau lihat itu
Ku
tak peduli kau bicara tentangku bagaimana
Karena
aku merasa bahwa aku hidup tidak untuk kau lihat
Jika
kau ingin menemukanku di tempat ini,
Maka
pergilah kesana dan temukan bagaimana caraku,
Hingga
aku sampai disini..
Gerimis
senja membasahi bumi Malang pekan ini. Tanah jawa yang sejuk dan basah oleh
rinai hujan disenja maupun pagi hari membuatku menggigil tak kunjung usai. Ku
buka tirai jendela sekedar untuk menyaksikan rintik-rintik lembutya. Aku
merasakan sesuatu yang sangat indah di tempat ini. Tempat yang jauh dari
peraduanku, tempat dimana aku asing dengan semua yang ada. Aku bergumam, dalam
hati ada secuil kenangan pahit disini, namun bukan ditempat ini, melainkan dengan
orang yang tlah membawaku sampai disini. Aku memiliki banyak alasan mengapa ku
beranikan datang dari kota panas, Jakarta menuju lembah dingin kota di kaki
Semeru. Ialah untuk sebuah rencana besarku, sebuah impian dan tekad bulat yang
ku tunggu-tunggu sejak satu bulan yang lalu. Ku selesaikan ujian akhir
semesterku untuk segera mengunjungi teman lama di kota pendidikan ini. Rasanya
seperti mimpi. Sejak hampir 4 tahun yang lalu ia meninggalkanku, maka tahun
inilah sebuah kesempatan datang padaku untuk kembali bersua dengannya. Aku
selalu memikirkan bagaimana tepatnya bersikap padanya? Apa kalimat pertama yang
mesti ku ucapkan untuknya? Haruskah aku berpura-pura menjadi dewasa untuk
membuatnya terkesan? Kurasa aku tidak terlalu percaya diri untuk hal ini.
Hingga aku bertanya pada salah seorang temanku tentang bagaimana cara menjadi
cantik dalam waktu satu bulan saja? Temanku mengatakan bahwa aku tidak usah
menjadi cantik untuk hal itu. Cukup dengan menunjukkan sikap manisku, maka aku
akan dipuji olehnya. Aku tersenyum kecut, betapa aku menyadari bahwa aku tidak
pernah bersikap manis terhadap siapapun termasuk teman-temanku. Aku selalu apa
adanya diriku. Terkesan cerewet dan sangat berterus terang. Namun yang mereka
suka pada diriku adalah sifatku yang periang, peduli, dan penyayang. Buruknya,
aku tidak memiliki sikap feminime. Aku
menepis semua perkataan temanku itu, bagaimana bisa? Kemudian ia menjawabnya, “jika
kamu ingin menemui seseorang dan kamu ingin membuatnya terkesan, maka jangan pernah
berpura-pura”. Aku tertegun, mencerna semua kata-katanya. Yah, aku memang
seperti ini, aku adalah aku. Aku tidak perlu menjadi orang lain untuk membuat orang
lain bahagia. Akan ku katakan padanya, bahwa aku datang dengan sebuah
kesederhanaan dan kejujuran. Juga dengan sebuah rindu yang mendalam
terhadapnya. Aku hanya berharap ia juga menungguku, dan bahagia atas
kedatanganku.
Bertahun-tahun,
setelah lama ku tak mendengar kabar tentangnya, tiba-tiba aku merasa sangat
merindukannya. Bagaimana keadaannya setelah kejam meninggalkanku hampir empat tahun yang lalu. Aku
sangat ingin melihatnya. Dulu, memang hanya kebencian yang ada dalam diriku.
Betapa aku adalah seorang gadis baik-baik yang memberikan cinta tulus untuknya
dibalas dengan sebuah pengkhianatan yang teramat sangat keji. Oh aku merasa
harus membalas semua ini. Karena hal itu membuatku berderai airmata sepanjang
hari. Aku meratapi kebodohanku sebagai gadis lugu yang baru mengenal cinta. Betapa
mudahnya aku dibohongi oleh orang yang baru kukenal satu bulan yang lalu. Namun,
sebelum cinta itu menjelma, aku mengenalnya sebagai sosok seorang kakak yang
sangat bijaksana. Yang memberikanku cinta dan kasih sayang yang sempurna. Ialah
serpihan hati yang membagi cinta dalam kehidupan samarku. Ialah tabir jiwa yang
membuka makna kehidupan dalam keterjagaan dunia. Ia adalah sosok seorang guru
yang mengajarkanku tentang keajaiban hari esok. Membimbingku untuk tetap
melangkah tegas ke depan. Ia tak pernah meminta intan permata yang dimiliki
oleh orang yang berada, padahal ia telah memberi yang lebih berharga dari itu
semua yakni sebuah pengajaran tentang kehidupan. Ia pun tidak pernah
memperlihatkan dukanya pada setiap insan yang bernafas. Kenangan itulah yang
akan selamanya hidup dalam sanubariku. Aku menyebutnya guru yang hebat dalam
keseharianku, aku memanggilnya kakak yang sangat luar biasa, ketika kerap kali
ia menasehatiku dengan kata-katanya yang bijak, namun terkadang aku menyebutnya
seorang kekasih kala ia ada di saat hatiku merasakan cinta atas kekagumanku
padanya. Hingga gambaran tentangnya tak bisa terlukiskan oleh apapun didunia
ini. Tuhan telah menuliskan garis takdirku untuk menemukannya di tempat ini. Ia
datang dengan segala pengabdian dan tanggung jawab. Ia bagaikan seonggok tubuh
dengan kekuatan yang tanpa terbatas. Aku terus memandanginya. Ia bertutur kata
santun dan lembut, yang diam-diam bahasanya meraba hatiku dengan cinta. Aku
tersenyum dalam hati. Aku merasakan perasaan yang begitu indah dan kuat. Meski
aku tau ia hanya akan menjadi seorang guru bagi murid nakal sepertiku.
Aku
memanggilnya Ibrahim, nama yang selalu mengingatkanku pada kekuatan cinta.
Nama indah yang tak pernah ku hapus dari ingatanku. Aku bahagia mengenalnya
sebagai laki-laki yang tegas dan bijaksana. Aku bertemu dengannya kala itu,
dimana aku masih terlalu belia untuk mengenal cinta. Banyak masa-masa yang sulit
untuk dijelaskan yang pernah ku lalui bersama dengannya. Meski aku tau inilah
cinta. Cinta yang tak untuk disampaikan. Hanya aku yang begitu mengaguminya.
Sebatas mengagumi tanpa berani memperlihatkannya. Aku hanyalah anak gadis yang
lugu, anak gadis yang tak punya apa-apa untuk dikagumi. Aku hanya bisa
memandangnya dari kejauhan tanpa berharap ia akan berpaling dan melihatku.
Malang nian, namun masa-masa itulah yang membawaku pada keabadian cinta. Aku
tidak pernah tau alasan mengapa aku masih tetap ada. Berjuang untuk merebut
cintaku yang tlah lama hilang. Aku tak pernah tau mengapa aku masih tetap
mencintainya hingga kini. Setelah ia menyakitiku, setelah aku lama dengan orang
lain, bahkan sampai aku merasa berhasil membalas perlakuannya terhadapku dulu.
Ia mencaciku, aku tak peduli. Karena rasa sakit hati yang membutakan
kebaikanku. Hingga ia pun menghilang, dan perlahan aku mulai melupakannya.