METODOLOGI PENELITIAN ILMIAH VERSI
BARAT DAN ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk
memenuhi tugas Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Sains dan Agama
Dosen : Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara

Oleh : Via Elga Susilawati
11140331000008
JURUSAN AQIDAH DAN
FALSAFAH ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI (UIN)
SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Metode ilmu pengetahuan bertitik-tolak dari
pertanyaaan bagaimanakah cara mendapatkan pengetahuan secara ilmiah?. Ilmiah
artinya mengetahui pengetahuan sebagaimana adanya. Misalnya bintang kecil
dilangit yang biru. Tentu kit tahu bahwa itu tidak kecil dan ketika ada bintang
pun langit tidak biru. Jika berbicara ilmiah, maka itu belum ilmiah, karena
pengetahuan kita tentang bintang itu belum sebagaimana adanya atau masih kesan
indera saja. Untuk mencapai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya,
maka kemudian ada metodologi ilmiah menjadi penting. Karena dengan metodologi
ini, maka kita akan bisa mencapai pengetahuan objektif. Karena itu para saintis
terus mencari sampai mendapatkan pengetahuan yang memuaskan.
Metodologi ilmiah itu akan membawa kita pada
pengetahuan yang lebih sejati, benar, dan ilmiah. Jika kita berbicara metode
ilmiah di bidang sains, itu ada maka mereka hanya membatasi metode ilmiah itu
pada satu saja yaitu metode observasi atau juga disebut eksperimen. Dalam bahasa
arab disebut tajribi. Artinya berdasarkan pengalaman. Kata yang berkaitan
dengan tajribi adalah mujarrab artinya sudah teruji. Di Barat, Karena ilmu
dibatasi hanya pada bidang-bidang fisik, jadi objek ilmiah dalam dunia Barat
adalah yang fisik. Karena mereka tidak percaya kepada yang non fisik. Pandangan
sekuler tidak percaya pada pandangan yang tidak bisa di indera atau di
verifikasi melalui pengamatan indera. Bagi sains modern, hal-hal yang
metafisika, itu tidak masuk ke dalam bidang ilmiah. Bahkan pada golongan yang
akhir-akhir ini, psikologi diarahkan pada jiwa. Tapi menurut sains modern, jika
jiwa tidak bisa diamati, maka ia tidak termasuk ilmiah. Jadi menurut mereka,
bahwa yang diamati tentng jiwa itu adalah sikap manusia. Maka munculah madzhab
psikologi yang bernama (behavior science).
Sedangkan menurut Muhammad Abed al-Jabiri[1],
metode ilmu pengetahuan dalam Islam dapat diperoleh dengan 3 cara, yaitu: (1).
Metode Bayani, (2). Metode Burhani, (3). Metode Irfani. Tulisan ini dimaksudkan
untuk menjelaskan ketiga metode tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Hubungan Sains dan Agama
Agama menurut kamus besar bahasa Indonesia
(KBBI), adalah sistem yang mengatur tata keimanan dan kepribadian terhadap
Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta
lingkungannya. Tempat tinggal manusia dimana manusia dapat menemukan makna dan
inti dari kehidupan. Sedangkan sains adalah sesuatu yang dapat mengurai dan
menjelaskan keunikan dari alam semesta meliputi fisika, kimia, geologi, botani,
zoologi dan lain sebagainya.
Sekalipun antara keduanya memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia, tidak berarti hubungan keduanya berjalan
harmonis tanpa masalah. Sains dan agama seringkali menjadi perdebatan sengit
antara kaum ilmuan dan agamawan. Sains mengklaim bahwa agama tidak bisa
menyentuh ranah sains. Agama pun mengatakan bahwa sains hanyalah sebuah
pemikiran yang tidak ada puasnya untuk meneliti apa yang ada di dunia ini yang
padahal sudah dijelaskan pada kitab suci
masing-masing agama. Akhirya pemikiran yang fundamental ini menimbulkan
keributan antara sains dan agama. Keduanya dikatakan tidak dapat bersatu.
Sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling
bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan
sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing
menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan
eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan
eksistensi masing-masing.[2]
Pertentangan Galileo dan Gereja Katolik
misalnya, yang mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada dimensi
pertama dan kedua dan sebetulnya juga terdapat unsur politis yang terdapat
disitu.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah
hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek
pemikirannya tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar
dalam orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi
sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili pada
tahun 1633.[3]
Contoh ketegangan tersebut sekaligus menandai adanya titik persentuhan antara
ilmu dan agama artinya pada titik persentuhan itu kita dapat berbicara juga
mengenai kemungkinan melakukan integrasi keduanya.
Sementara disisi lain, sebahagian saintis
berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya dan dipahami. Penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas
sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi sebahagian kalangan
saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan
terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat
diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains.[4]
Ada beberapa pernyataan yang
menyatakan bahwa sains bertentangan dengan agama dan tidak mungkin disatukan.
Namun, Einstein dalam bukunya menyatakan bahwa ia tidak pernah menganggap
hubungan antara sains dan agama sebagai sebuah antitesis. Sebaliknya ia
memandang sains dan agama adalah dua hal yang saling melengkapi atau saling
bergantung satu sama lain. Sebuah hubungan sebagaimana yang tergambar dalam
metaforanya: “Sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta”.
Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi
kehidupan manusia. Agama lahir tidak dengan rasio, riset, dan uji coba belaka
melainkan lahir dari proses penciptaan dzat yang berada di luar jangkauan akal
manusia dan penelitian pada objek-objek tertentu. Agama menjadi titik akhir
dari suatu perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa
didapatkan dalam filsafat dan sains.
Juga sains, ia lahir dari kekaguman para
failasuf yang berusaha mencari kepuasan atas jawaban rasa penasarannya. Sains
melengkapinya dengan hal-hal yang tidak hanya mengedepankan logika. Sains sudah
mulai merambah ranah yang lebih praktis dan logis yang diperolehnya dengan
berbagai cara yang cukup sistematis. Namun manusia tetap tidak dapat tenang dan
bahagia hanya dengan berbekal sains dalam kehidupannya.
B. Metodologi Ilmiah
Metode
ilmu pengetahuan bertitik-tolak dari pertanyaaan bagaimanakah cara mendapatkan
pengetahuan secara ilmiah?. Dalam mendapatkan pengetahuan yang ilmiah atau
dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya
terdapat beberapa metode-metode atau cara-cara agar mendapatkan suatu pengetahuan
yang orisinil, kata ilmiah berasal dari kata Arab namun biasanya para sarjana
memahaminya dalam arti “scientific” sehingga kata metode-metode ilmiah
dipahami dalam artian “scientific methods” namun disini terdapat
perbedaan scientific methods dengan metode ilmiah karena dalam scientific
biasanya hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris, dalam islam kata islam
tidak hanya dibatasi pada bidng fisik tetapi juga namun juga pada
bidang-bidangnon empiris seperti matematika dan metafisika dan karena pada dasarnya sifat objeknya
berbeda dengan yang empiris ilmu menuntut metode yang berbeda.[5]
Menurut Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag.[6],
dalam bukunya Epistemologi Pendidikan Islam, ada beberapa istilah untuk
menyebutkan kata ‘ilmu pengetahuan’, al-‘ilm dan sains. Dalam koteks
Islam, memandang bahwa sains tidak menghasilkan kebenaran absolut. Istilah yang
tepat untuk mendifinisikan pengetahuan adalah menggunakan kata al-‘ilm karena
memiliki kebenaran absolut dan dapat dipertanggungjwabkan. Sumber al-‘ilm berasal
dari wahyu atau al-Qur’an, semuanya valid. Maka menurut Islam sumber dari al-‘ilm
memiliki sanad yang lebih kuat dibandingkan sains versi Barat karena
bersandar langsung kepada Allah Swt.
Lebih jauh lagi Perter R. Senn mengemukakan ,”metode merupakan suatu prosedur atau cara
mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis.” Sedangkan metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peaturan metode
tersebut. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang
mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.[7]
Dengan demikian, harus disadari bahwa
metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu.
Sejarah membuktikan bahwa semua ilmu tumbuh melalui metodologi baik ilmu
sosiologi, ekonomi, antropologi dan sebaginya. Metodologi memiliki misi
memecahkan persoalan-persoalan yang diajukan
berdasarkan temuan-temuan baru, guna akumulasi pengetahuan, baik
mengenai “dunia alam” maupun “dunia sosial”. Metodologi senantiasa menemukan
temuan-temuan baru untuk mewujudkan dinamika ilmu pengetahuan. Hasil temuan
baru ini dilaporkan dan dikomunikasikan sehingga terbuka untuk diketahui dan
diuji oleh siapapun.[8]
1. Metode Tajribi
Tajribi
artinya eksperimen yang dipakai sebagai metode ilmiah untuk meneliti bidang-bidang
empiris jadi termasuk didalamya metode observasi. Pengamatan atau observasi
adalah aktivitas yang dilakukan makhluk
cerdas terhaap suatu proses atau objek dengan maksud merasakan dan kemudian
memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan
yang sudah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang
dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian. Ilmu pengetahuan biologi dan astronomi mempunyai dasar sejarah dalam pengamatan oleh amatir. Di dalam
penelitian, observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar dan
rekaman suara.
Sebenarnya
metode ini sudah dipakai pada masa-masa awal kebangkitan ilmiah islam yakni
abad kesembilan sepuluh. Metode imni sangat penting mengingat pengamatan
terhadap benda-benda melalui alat indra tidak selalu akurat karena terdapat
kekurangan yang intrinsic terhadap alat indra kita maka diperlukan observasi.
Sebagai contoh kekurangan alat indrawi manusia: mata tidak bisa melihat
dierinya sendiri, mata tidak bisa melihat hal yang terlal jauh danhal yang
terlalu dekat, mata tidak bisa melihat hal-hal yang ada dibalik tirai sementara
akal bisa, mata hanya bisa melihat hal-hal yang lahir tetapi akal bis melihat
entitas rasional disamping objek-objek indra.
Mengingat
banyak kekurangan yang ada pada alat indrawi kita, bagaimana kita dapat
mendapatkan pengetahuan yang orisinil maka diperlukanlah suatu metode yang
digunakan untuk mengamati objek-objek yang ditelitinya terdapat dua metode yang
terdapat dalam tradisi islam yang dilakukan pada objek fisik, yakni level
teoritis dimana ilmuan islam mengkaji dengan seksama dan kritis karya-karya
ilmiah dari bidang fisika tertentu missal astronomi, kedokteran. Dan
selanjutnya level praktis dimana para sarjana Muslim melakukan berbagai
eksperimen untuk membuktikana atau menolak teori misalnya mengenai penglihatan
yang akhirnya mereka dapat menyimpulkan bahkan menemukan metode baru.
Setelah
para ilmuan muslim mendapatkan metode baru dan mendapatkan hasil akurat dan
objektif terhadap sebuah benda untu mendapatkan kesalahan subjektif dari
seorang pengamat maka para ilmuan muslim kemudian dilanjutkan dan dikembangkan
oleh ilmuan-ilmuan Barat sampai taraf yang begitu canggih misalnya malakukan
pengukuran yang lebih canggih seperti jsrsk yskni meter, kilometer dsn beban
misalnuya kilogram, pon, pons maka munculah satuan-satuan ukuran.
Selain
menciptakan alat ukur para ilmuan juga menciptakan alat untuk mempermudah
sesuatu yang kecil dan tidak nampak bagi mata seperti mikroskop, metode tajribi
juga harus mengikuti prosedur pengambilan putusan atau kesimpulan bagi
pengamatnya itu baik bersifat deduktif bisa atau qiyas pengambilan kesimpulan
dan prinsip-prinsip umum menuju yang khusus atau deduktif yakni menarik
kesimpulan dari objek-objek partikular.[9]
2. Metode
Bayani
Secara
etimologis, term bayani mengandung beragam arti yaitu: kesinambungan (al-waslu),
keterpilahan (al-fashlu), jelas dan terang (al-zhuhur wa al-wudlhuh),
dan kemampuan membuat terang dan generik. Sebagai sebuah episteme, keterpilahan
dan kejelasan tadi mewujud dalam al-bayan al- ‘ibarat “perpektif” dan “metode”
yang sangat menentukan pola pemikiran tidak hanya dalam lingkup “estetik-susastra”,
melainkan juga dalam lingkup “logic-diskursif”. Dengan kata lain bayan
berubah menjadi sebuah terminologi yang disamping mecakup arti segala sesuatu
yang melengkapi tindakan mamahami.[10]
Bayani
adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash),
secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan
yang digali melalui inferensi (istidlal). Secara langsung artinya
mamahami tes sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu
pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan
berarti akal atau rasio bisa babas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus
bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio diangggap tidak mampu memberikan
penegtahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran
bidik bayani adalah aspek esoterik (syari’at).[11]
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani
adalah teks (nash). Dalam ushul fikih yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan
bayani adalah al-quran dan hadis. Karena itu, epistemogi bayani menaruh
perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi kegenerasi.
Ini penting bagi bayani, karena benar tidaknya transmisi teks menetukan benar
salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa
dipertanggungjawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar
hukum.Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, kebenaran teks tidak bisa
dijadikan landasan hukum.[12]
3. Metode
Burhani atau Logika
Objek pengetahuan dalam islam tidak hanya
dibatasi pada hal yang fisik saja tetapi juga yang non fisik. Padahal kita tau
bahwa indra kita memiliki kekurangan dalam mengetahui objek yang non fisik,
maka untuk mengetahuinya kita membutuhkan alat bantu lain alat yang dimaksud
adalah aql dalam tradisi islam, karena akal mampu mengetahui banyak hal
yang tidak dapat dilakukan oleh indra, adapun beberapa contoh kelebihan akal:
akal dapat melihat dalam artian dapat memahami bukan hanya objek-objek yang
lain tetapi dirinya sendiri ia dapat mempersepsi dirinya sebagai yang
mengetahui dan kuat ia dapat melihat pengetahuanya dengan dirinya.
Kedua mata tidak bisa melihat yang terlalu jauh
dan terlalu dekat sementara akal dapat mempersepsinya karena jauh dan dekat
tidak ada masalahnya pada akal dalam
sekejap akal dapat mengetahui yang ada dilangit yang tinggi dan dalam
sekejap akal dapat turun dan menuruni inti bumi, sementara mata dapat melihat
sesuatu yang ada dibalik cadat atau sesuatu yang tertutup tetapi akal dapat
dengan mudah bergerak kedalam ‘arsy yang terletak dibalik hijb langit-langit,
dan sementara akal hanya dapat melihat yang lahir maka akal dapat merasakan
yang bati seperti cinta, kesedihan, masalah batin, jiwa, dan ruh.
Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang
kuat dan jelas. Dalam istilah logika, al-burhan adalah aktifitas intelektual
untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi melalui pendekatan deduksi dengan
cara menghubungkan proposisi yang satu yang telah terbukti secara aksiomatik.
Dengan demikian, burhan merupakan aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu
proposisi tertentu.[13]
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi
burhani menggunakan aturan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme
diterjemahkan dengan al-qiyas al-Jam’i yang mengacu pada makna ashal,
mengumpulkan.[14]
Nalar
burhani berpegang pada kekuatan natural manusia yang berupa indera dan otoritas
akal dalam memperoleh pengetahuan.[15]
Dengan demikian Agus Najib mengatakan dalam burhan, akal memiliki peran dan
fungsi yang paling utama. Karena itu dengan menggunakan premis-premis logika
yang konsisten, akal berusaha menemukan pengetahuan dari realitas yang ada (al-waqi’),
baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan.
4. Metode Irfani
Setelah menggunakan indra dan metode tajribinya
ternyata kita masih membutuhkan alat dan metode lain untuk kesempurnaan ilmu
manusia karena betapapun kelebihan akal masih ada batasanya dan masih banyak
hal besar yang tidak dapat diselesaikan dengan akal. Dalam tradisi ilmiah
islam, selain indra dan akal masih ada satu pengetahuan lagi yang diakui ilmuan
muslim yakni hati (qalb) atau dalam filsafat disebut intuisi, perbedaan
pengetahuan yang didapatkan oleh akal dan intuisi seperti mengetahui dan
mengalami karena itu pengetahuan rasional selalu bersifat tak langsung karena
untukk mengetahui sesuatu ia membutuhkan perantara. Menggunakan pengetahuan ini
dengan cara membersihkan hati terlebih dahulu hal ini yang membedakan
pengenalan intuisi dengan pengenalan indra, pengetahuan intuitis inilah yang
kemudian biasa dikenal dengan metode irfani yang biasa digunakan oleh sufi.
Selain logika mencari pengetahuan juga dapat
digunakan dengan menggunakan hati, yang begitu khusus sehingga seakan akan
merupakan suatu macam tersendiri yakni intuitif, sebenarnya pengetahuan itu
tetap termuat dalam rasionalitas manusia pada umumnya tetapi dilawankan dengan
pengetahuan rasionalitas sejauh itu justru menekankan sistematika dan kekuatan
metodis, kedua pengertian itu menurut dasar biotiknya secara global tetapi
tidak ekslusif dialokasikan dalam dua belah otak manusia terutama menjadi
sumber dalam kemampuan berbahasa bagi pemahaman perasaan orang lain, bagi
fantasi, bagi feeling. Sedangkan sebelah kanan lebih menjadi sumberbagi
kegiatan spasial, bagi perhitungan matematis, bagi logika lurus, bagi lazimnya
disebut kegiatan rasionalitas. namun pembagian tugas itu tidak eksklusif karena
sebelah lainya ikut aktif.[16]
Artinya, Irfani adalah model metodologi yang
didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual
keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik
'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan sebagai
alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. Secara
terminologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat
penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui
riyadlah.
Contoh
konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah isyraqi yang
memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu
secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah).
Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang
mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyyah. Pengalaman
batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit
dari pengetahuan irfani.[17]
‘Irfan
adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian
hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari
situ kemudian dikonsepsikan atau masuk ke dalam pikiran sebelum dikemukakan
kepada orang lain. Dengan demikian, secara metodologi, pengetahuan ruhani
setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan
pengungkapan, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima
limpahan pengetahuan, seseorang biasanya harus menyelesaikan jenjang-jenjang
kehidupan spiritual.
1. Taubat
2. Wara’
3. Zuhud
4. Fakir
5. Sabar
6. Tawakkal
7. Ridha[18]
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai
tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan
langsung dari Tuhan secara iluminatif.[19]
Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap
terakhir dari proses pencapaian pengetahuan ‘irfani, dimana pengalaman mistik
diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.[20]
Seperti para sufi, tahapan-tahapan tersebut
adalah maqamat, yang akan mengantarkan mereka pada ma’rifatullah secara
bathiniyah. Maka tidak salah jika al-Hallaj mengatakan ana al-khaq karena
ia sudah hulul, pengetahuan tentang hulul, kaysf itu hanya bisa dirasakan oleh
orang yang pernah merasakan. Akal pikiran tidak akan bisa menjangkau hal
tersebut.
Daftar Pustaka
Abed Muhammad al-Jabiri,
Bunyah al- ‘Aql al- ‘Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991)
Agus Muhammad Najib, “Nalar
Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermenia : Jurnal Kajian
Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2 (Juli-Desember 2003)
Al-Qusairi mencatat ada
empat puluh sembilan tahapan yang harus dilalui, sedang at-Thabthabai mencatat
dua puluh empat jenjang, lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam,
(Jakarta : Rajawali Press, 1977)
Arif Mahmud, “Pertautan
Epistemologi Bayani dan Pendidikan Islam”, Al-Jami’ah Vol. 40, No. 1 (Januari-Juni
2002)
Bakker Anton dan Achmad
Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius,
1990)
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan,
Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002)
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan
Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004)
Kartanagara Mulyadi, Reaktualisasi
Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006)
Kartanegara Mulyadhi, Menyibak
Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet. I; Bandung: Mizan,
2003)
Khodori Achmad Soleh, “M.
Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam dalam Pemikiran Islam Kontemporer”,
(Yogyakarta : Jendela, 2003)
Qomar
Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam
dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: ERLANGGA, 2005)
[1]
Dilahirkan di Maroko pada tahun 1936, merupakan seorang intelektual muslim
kontemporer yang sangat disegani banyak kalangan dan mempengaruhi banyak
pemikiran generasinya, khususnya peminat studi-studi keislaman (Islamic
studies).
[2]
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung:
Mizan, 2004), hlm. 2.
[3]
John F. Haught, Ibid., hlm. 3.
[4]
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung:
Mizan, 2002), hlm. 55-56.
[5]
Mulyadi Kartanagara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul
Ihsan, 2006) hlm 183.
[6]
Dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada 1 Maret 1965, merupakan seorang dosen
tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung, juga seorang
peneliti baik di bidang pendidikan Islam maupun pemikiran Islam dan penulis
artikel jurnal-jurnal kampus.
[7]
Lihat: Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode
Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta:
ERLANGGA, 2005), hlm. 20.
[8]
Mujamil Qomar, Ibid.
[9]
Ibid, Mulyadki Kartanagara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, hlm
187.
[10]
Mahmud Arif, “Pertautan Epistemologi Bayani dan Pendidikan Islam”,
Al-Jami’ah Vol. 40, No. 1 (Januari-Juni 2002), hlm. 13
[11]
Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al- ‘Aql al- ‘Arabi, Beirut, al-Markaz
al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm.38, Lihat A. Khodari Sholeh (ed.), “M. Abed
al-Jabiri : Model Epistemologi Hukum Islam”, dalam “Pemikiran Islam
Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 233.
[12] Achmad Khodori Soleh, “M. Abid
al-Jabiri : Model Epistemologi Islam dalam Pemikiran Islam Kontemporer”,
(Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 223.
[13]
Al-Jabiri, Ibid., hlm. 46.
[14]
Achmad Khodori Soleh, hlm. 250.
[15]
Muhammad Agus Najib, “Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran
Awal)”, Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2
(Juli-Desember 2003), hlm. 224.
[16]
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1990) hlm 25.
[17]
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam
(Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.
[18]
A. Khudori Soleh, Ibid.,hlm.241-242. Al-Qusairi mencatat ada empat puluh
sembilan tahapan yang harus dilalui, sedang at-Thabthabai mencatat dua puluh
empat jenjang, lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta :
Rajawali Press, 1977), hlm.49-72.
[19]
Ibid., hlm.243-244.
[20]
Ibid., hlm. 244.
goed goed goed (y)
BalasHapusجزاك الله خيرا كثيرا
BalasHapusجزاك الله خيرا كثيرا
BalasHapus