Barangkali perlu dikaji ulang, seluruh penguasa yang menduduki kursi empuk bangsa ini. Mengkaji pemikirannya, juga emosinya. Semua vocal masalah radikalisme tanpa tau maknanya. Efek asal “njeplak”, otak ga pernah diajak rembukan. Memperdebatkan perempuan yang bercadar daripada yang buka2an. Menghakimi yg pake “kathok” cingkrang daripada rok mini. Tentu saja ini sudah menyenggol unsur SARA. Mereka lupa (mungkin menyengaja lupa), bahwa ada hal yang lebih krusial. Radikalisme hanya isu untuk menutupi bau “kebusukan” yg kian menusuk. Bagaimana undang2 KPK? Bagaimana undang2 pornografi? Bagaimana undang2 miras? LGBT?Hukum yg kian amburadul. Yg melapor bisa terlapor. Semua serba terbalik. Korban bisa saja jadi tersangka, bahkan mungkin terdakwa (kasus Novel Baswedan). Sang koruptor masih bisa berlenggang ke Bali dan tidur nyaman di balik “Bui”. Bagaimana ekonomi negara kita? Hutang untuk infrastruktur kesana kemari. Bagaimana masalah sosial? Masih banyak orang2 di pelosok sana memimpikan pemimpin yg bisa menjamah mereka. Hidup bealaskan tanah beratap langit. Sulitnya mencari sesuap nasi demi menghidupi diri. Sedangkan si kaya dengan mudahnya bolak balik Mekkah dengan dalih beribadah. Pamernya selalu bilang “rindu Rumah Allah”, tanpa sadar bahwa Tuhan lebih rindu orang2 yang peduli akan sesama. Jangankan umroh haji, bisa makan hari ini saja sudah bersyukur sekali. Begitulah publik dipaksa melupakan hal sebesar itu hanya untuk difokuskan pada isu “radikalisme” yang sebetulnya hanya omong kosong. Tidak ada cadar dan katok cingrang yang perlu diwaspadai. Pemikiran macam apa itu?? Hal yang sangat tidak penting untuk diperdebatkan di ranah publik. Yang ada malah memecah-belah bangsa ini.
Semoga baik2 saja, negeriku
Semoga baik2 saja, negeriku