Ketika
Surga Berada di Telapak Kaki Mama
Mama,
begitulah aku memanggilnya. Sosok lembut yang membelai rambut pirangku ketika
ku masih balita. Aku ingat betul ketika tangannya yang kuat dengan sigap
menangkapku kala ku nyaris terjugkal di bawah rindang pohon mangga pagi itu. Diriku
yang nakal menaiki bangku taman bercat putih, lalu ku melompat-lompat dengan
riang tanpa memperdulikan kursi tersebut telah rapuh. Aku terkejut bukan main,
aku menangis dalam dekap mama, hangat, sangat hangat dan nyaman. Mama memelukku
erat, membelai rambutku, dan membisikkan sesuatu ditelingaku, “tenang sayang,
tidak apa-apa, tidak ada yang luka” bisik Mama dengan lembut dan mendamaikan
hatiku. Aku terdiam dan menatap Mama, kemudian Mama tersenyum melihatku yang
masih berlinang air mata, bibirku mengerucut, tiba-tiba Mama mencubit pipiku
gemas, aku tersenyum dibuatnya, kemudian Mama memelukku kembali, “kamu anak
Mama yang hebat, jangan menangis lagi” bisikanya lembut seraya mencium pipiku.
Itulah
yang masih ku ingat sampai sekarang, bisikannya yang terakhir ditelingaku,
sebelum maut merenggut nyawanya karena sakit ganas yang memakan tubuh dan usia
Mama. Bisikannya masih terngiang hingga kini, sejak 14 tahun yang lalu saat ku
masih duduk dibangku TK, dan sekarang usiaku 19 tahun. Aku teringat Mama, dikehidupan belia yang
penuh tantangan ini ku hampir rapuh, tapi aku kuat karena ku percaya Mama
melihatku, pasti melihatku dari sana, dari surga.
Taman
nian sejuk ini, dengan bangku bercat putih dibawah rindang pohon mangga, masih
utuh, masih sama seperti saat ku terjungkal belasan tahun lalu. Meski bangku
ini sudah berulang kali diganti, namun warna catnya tetap sama, yakni putih
serta pohon mangga ini yang sudah hampir mati termakan usia. Namun tempat ini
masih menjadi tempat favoritku untuk melepas lelah. Lagipula ku selalu merasa
ada Mama disini, yang menemaniku sepanjang waktu. Tempat ini benar-benar
mengingatkanku padanya, seorang wanita muda yang tangguh, sosok yang paling aku
cintai seumur hidupku. Ah, aku merindukannya.
22
Desember 2015 Selamat sore Mama, kutuliskan sepucuk surat ini, berharap angin
menyampaikannya kepada Mama. Aku rindu, padamu, sejak kau tinggalkan aku
belasan tahun yang lalu. Entah apa yang aku yang rasakan, yang jelas aku tak
pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, sebelum Ayah menceritakan semuanya
tahun lalu. Mama, sejak saat itu aku menyadari bahwa orang yang aku panggil
Mama itu bukanlah engkau, melainkan adik bungsu kembaranmu. Aku menangis tanpa
terisak. Kemudian Ayah mengajakku ketempat peristirahatanmu, ya benar! Itu
namamu, Indah Winingsih. Aku terpaku menyaksikan kenyataan ini. Mulutku
terbungkam, namun airmataku terus mengalir tanpa henti. Mama, saat itulah aku
merasakan pahitnya kehilangan engkau. Aku baru menyadari disaat usiaku beranjak
dewasa.
Mama,
apa yang bisa aku berikan untukmu kini? Setelah engkau tiada, setelah engkau
pergi dari dunia, meninggalkanku yang masih dalam keadaan lemah dan rapuh tak
berdaya? Mama, aku butuh engkau.
Mama,
dihari ini, tepat dimana Hari Ibu menjelang, kuiingin ucapkan rasa
terimakasihku padamu untuk segala-galanya, trimakasihku kau telah menitipkanku
di dunia ini dengan segala kasih sayangmu meski ku tak merasakannya sampai
akhir hayatku. Berbahagialah Mama, semoga Allah selalu menjagamu, menempatkanmu
ditempat indah, Indah seperti namamu, taman indah dengan kursi bercat putih di
bawah rindang pohon mangga, indah dengan aliran air diparit-parit kecil yang
membentang jauh.
Berbahagialah
Mama, maka aku pun disini berbahagia jua, bersama Ayah, Adik, dan keluarga besar
kita, menyaksikanmu tersenyum manis buat kami dari sana, dari surga.