Selasa, 22 Desember 2015

Ketika Surga Berada di Telapak Kaki Mama



Ketika Surga Berada di Telapak Kaki Mama
Mama, begitulah aku memanggilnya. Sosok lembut yang membelai rambut pirangku ketika ku masih balita. Aku ingat betul ketika tangannya yang kuat dengan sigap menangkapku kala ku nyaris terjugkal di bawah rindang pohon mangga pagi itu. Diriku yang nakal menaiki bangku taman bercat putih, lalu ku melompat-lompat dengan riang tanpa memperdulikan kursi tersebut telah rapuh. Aku terkejut bukan main, aku menangis dalam dekap mama, hangat, sangat hangat dan nyaman. Mama memelukku erat, membelai rambutku, dan membisikkan sesuatu ditelingaku, “tenang sayang, tidak apa-apa, tidak ada yang luka” bisik Mama dengan lembut dan mendamaikan hatiku. Aku terdiam dan menatap Mama, kemudian Mama tersenyum melihatku yang masih berlinang air mata, bibirku mengerucut, tiba-tiba Mama mencubit pipiku gemas, aku tersenyum dibuatnya, kemudian Mama memelukku kembali, “kamu anak Mama yang hebat, jangan menangis lagi” bisikanya lembut seraya mencium pipiku.
Itulah yang masih ku ingat sampai sekarang, bisikannya yang terakhir ditelingaku, sebelum maut merenggut nyawanya karena sakit ganas yang memakan tubuh dan usia Mama. Bisikannya masih terngiang hingga kini, sejak 14 tahun yang lalu saat ku masih duduk dibangku TK, dan sekarang usiaku 19 tahun.  Aku teringat Mama, dikehidupan belia yang penuh tantangan ini ku hampir rapuh, tapi aku kuat karena ku percaya Mama melihatku, pasti melihatku dari sana, dari surga.
Taman nian sejuk ini, dengan bangku bercat putih dibawah rindang pohon mangga, masih utuh, masih sama seperti saat ku terjungkal belasan tahun lalu. Meski bangku ini sudah berulang kali diganti, namun warna catnya tetap sama, yakni putih serta pohon mangga ini yang sudah hampir mati termakan usia. Namun tempat ini masih menjadi tempat favoritku untuk melepas lelah. Lagipula ku selalu merasa ada Mama disini, yang menemaniku sepanjang waktu. Tempat ini benar-benar mengingatkanku padanya, seorang wanita muda yang tangguh, sosok yang paling aku cintai seumur hidupku. Ah, aku merindukannya.
22 Desember 2015 Selamat sore Mama, kutuliskan sepucuk surat ini, berharap angin menyampaikannya kepada Mama. Aku rindu, padamu, sejak kau tinggalkan aku belasan tahun yang lalu. Entah apa yang aku yang rasakan, yang jelas aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi, sebelum Ayah menceritakan semuanya tahun lalu. Mama, sejak saat itu aku menyadari bahwa orang yang aku panggil Mama itu bukanlah engkau, melainkan adik bungsu kembaranmu. Aku menangis tanpa terisak. Kemudian Ayah mengajakku ketempat peristirahatanmu, ya benar! Itu namamu, Indah Winingsih. Aku terpaku menyaksikan kenyataan ini. Mulutku terbungkam, namun airmataku terus mengalir tanpa henti. Mama, saat itulah aku merasakan pahitnya kehilangan engkau. Aku baru menyadari disaat usiaku beranjak dewasa.
Mama, apa yang bisa aku berikan untukmu kini? Setelah engkau tiada, setelah engkau pergi dari dunia, meninggalkanku yang masih dalam keadaan lemah dan rapuh tak berdaya? Mama, aku butuh engkau.
Mama, dihari ini, tepat dimana Hari Ibu menjelang, kuiingin ucapkan rasa terimakasihku padamu untuk segala-galanya, trimakasihku kau telah menitipkanku di dunia ini dengan segala kasih sayangmu meski ku tak merasakannya sampai akhir hayatku. Berbahagialah Mama, semoga Allah selalu menjagamu, menempatkanmu ditempat indah, Indah seperti namamu, taman indah dengan kursi bercat putih di bawah rindang pohon mangga, indah dengan aliran air diparit-parit kecil yang membentang jauh.
Berbahagialah Mama, maka aku pun disini berbahagia jua, bersama Ayah, Adik, dan keluarga besar kita, menyaksikanmu tersenyum manis buat kami dari sana, dari surga.
           

0 komentar:

Posting Komentar