Jumat, 23 September 2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berbicara tentang Tasawuf, maka yang ada adalah pembahasan yang berkaitan dengan ketuhanan. Namun sebelum melanjutkan pembahasan perlu kita ketahui bahwa  Tasawuf itu sendiri memiliki beberapa aliran, seperti tasawuf Akhlaqi, tasawuf Sunni dan tasawuf Falsafi. Ada pula yang membagi tasawuf  kedalam tasawuf ‘Āmālі, tasawuf Falsafi dan tasawuf ‘Īlmі. Akan tetapi dalam makalah kecil ini hanya akan dibahas secara lebih fokus tentang tasawuf Falsafi saja.
Berbagai macam ajaran falsafah yang telah mempengaruhi para tokohnya. Berangkat dari tasawuf falsafi, maka kita tidak akan lepas dari ide dasarnya yaitu Pantheisme, dan Pantheisme itu sendiri berasal dari kata yunani, yaitu “pan” yang berarti semua dan “theos” yang berarti Tuhan. Jadi pantheisme adalah  paham  yang menganggap Tuhan adalah immanen “ada di dalam” makhluk-makhluk.
Secara garis besar tasawuf falsafi adalah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya, yang berasal dari berbagai macam ajaran falsafah yang telah mempengaruhi para tokohnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari tasawuf falsafi?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan tasawuf falsafi?
3.      Apa karakteristik dari tasawuf falsafi?
4.      Bagaimana pemikiran falsafah mistik Ībn Māṣārrāḥ?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tasawuf Falsafi
Lafazh tasawuf merupakan masdar Bahasa Arab dari fi’il (kata kerja) تَصَوَّفَ- يَتَصَوَّفُ  menjadi تَصَوُّفًا yang artinya berpindah.[1] Ada juga yang mengatakan kata taswuf itu berasal dari pakaian orang sufi yaitu wol yaitu yang biasa disebut ṣūf.[2] Dan kain tersebut sangat digemari oleh para sufi yang menjadi simbol kesederhanaan pada masa itu. Antara para sufi dan pakaian sufnya sangat berhubungan, yakni jenis pakaian yang sederhana dengan kebersahajaan hidup para sufi.
Pendapat lain menggatakan bahwa kata tasawuf berasal dari Bahasa Yunani Sophos yang berarti hikmah atau ilmu hakekat.[3] Menurut pendapat lain pengertian tasawuf diambil dari kehidupan sekelompok muhajirin yang hidup dalam kesederhanaan di Madinah. Mereka selalu berkumpul di serambi masjid yang disebut  Ṣūffāḥ.[4] Dan masih banyak pendapat yag lainnya.
Sedangkan kata Falsafi merupakan kata yang diadopsi dari Bahasa Arab Falsafah. Dan ada yang mengatakan bersasal dari Bahasa Inggris yakni Philosophy yang berarti upaya secara sungguh-sungguh dengan menggunakan akal pikiran sebagai alat utamnya untuk menemukan hakekat segala sesuatu.[5]
Jadi yang dimaksud dengan tasawuf falsafi adalah tasawuf yang bercampur dengan ajaran falsafah.[6] Dari keterangan di atas tasawuf falsafi menurut penulis adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (mā’rіfāṭ) dengan pendekatan rasio (falsafah) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (mā’rіfāṭūllāḥ) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran falsafah, di dalamnya menonjolkan ungkapan-ungkapan ganjilnya (Ṣḥāṭāḥіyāṭ) dalam ajaran yang dikembangkan oleh para sufi.
Menurut āṭ-Ṭāfṭāẓānі, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun para tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu, tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama di kalangan para sufi yang juga failasuf, sampai menjelang akhir-akhir ini.[7] Adanya pemaduan antar tasawuf dan falsafah dalam ajaran tasawuf ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis ini bercampur dengan sejumlah ajaran falsafah di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan Agama Nasrani. Akan tetapi, orisianiltasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab, meskipun mempunya latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beragam, seiring dengan ekspansi Islam, yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya tetap berusaham menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukannya sebagai umat Islam. Sikap ini dengan sendirinya dapat menjelaskan kepada kita mengapa para tokoh tasawuf jenis ini begitu gigih mempromosikan ajaran-ajaran falsafah yang berasal dari luar Islam tersebut ke dalam tasawuf mereka, serta menggunakan terminologi-terminologi falsafah, tetapi maknanya telah disesuaikan dengan ajran tasawuf yang mereka anut.
B.     Sejarah Tasawuf Falsafi
Perkembangan tasawuf dalam Islam telah mengalami beberapa  fase. Pada abad pertama dan ke dua Hijriyah mengalami  fase asketisme (Zuhud), karena pada masa ini belum dikenal istilah sufi. Pada fase ini bisa dikatakan tasawuf masih sangat murni yang tidak terpengaruh oleh ajaran falsafah.[8]
Pada abad ini individu-individu dari kalangan muslim lebih memusatkan dirinya pada hal ibadah. Mereka tidak mementingkan hal duniawi, berpakaian, makan, minum dan bertempat tinggal seadanya.[9] Tokoh yang terkenal pada  masa ini adalah Ḥāṣān āl-Bāṣrі (wafat pada tahun 110 H) dan Rābі’āḥ āl-Āḍāwіyāḥ (wafat pada 185 H).
Pada abad ke tiga Hijriyah, tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ditandai dengan bebagai macam tasawuf yang berkembang pada masa itu. Yang secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan, pertama tasawuf yang berintikan ilmu jiwa tau tasawuf murni. Kedua tasawuf yang terfokus pada petunjuk-petunjuk tentang cara-cara berbuat baik serta cara-cara menghindarkan keburukan, yang bisanya disebut tasawuf akhlaqi. Dan yang ke tiga adalah tasawuf yang berintikan metafisika, di dalamnya  terkandung ajaran yang melukiskan ketunggalan Hakekat yang Maha Kuasa, yang merupakan satu-satu nya yang ada dalam pengertian yang mutlak, serta melukiskan sifat-sifat Tuhan.[10]
Jadi tasawuf falsafi mulai terlihat pada abad ke tiga Hijriyah, golongan ini diwakili oleh Āl-Ḥāllāj, yang dihukum mati karena menyatakan pendapatnya mengenai Hulul (309 H).[11]
Kemudian sejarah perkembangan tasawuf falsafi kembali muncul pada abad ke enam Hijriyah. Ditandai dengan adanya sekelompok tokoh tasawuf yang memadukan tasawuf dengan falsafah dengan teori mereka yang bersifat setengah-setengah. Artinya tidak ada yang disebut tasawuf murni dan tidak ada pula yang disebut dengan falsafah murni. Diantara tokohnya yang terkenal yakni Ṣḥūḥrāwārі āl-māqṭūl, Ṣḥekḥ Ākbār Mūḥyі āl-Dіn Ībn ‘Ārābі (wafat pada tahun 638 H).[12]
C.     Karakteristik Tasawuf Falsafi
Karakteristik tasawuf falsafi secara umum ialah mengandung kesamaran akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya dapat dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Ajaran tasawuf filosofi ini tidak dapat dipandang sebagai falsafah murni, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (ḍḥāūq), dan juga tidak bisa dikatakan bahasa dan terminologi falsafah.[13]
Sedangkan karakteristik khusus Tasawuf Falsafi ialah:
1.       Konsep pemahaman tasawuf falsafi adalah gabungan pemikiran rasional-filosofis dengan perasaan (ḍḥāūq). Kendatipun demikian tasawuf jenis ini sering mendasarkan pemikirannya dengan dalil naqliyah, namun diungkapkan dengan kata-kata yang samar sehingga sulit dipahami oleh orang lain. Kalaupun bisa diinterpretasikan orang lain, cenderung kurang tepat dan sering bersifat subyektif.
2.      Terdapat latihan-latihan rohaniah (Rіyāḍḥoḥ) sebagai peningkatan moral untuk mencapai kebahagiaan.
3.      Tasawuf falsafi memandang illuminasi sebagai metode untuk mengetahui hakekat sesuatu, yang menurut penganutnya dapat dicapai dengan fānā’.
4.      Menyamarkan ungkapan-ungkapan dengan berbagai simbol dan terminologi.[14]


D.    Pemikiran Falsafah Mistik Ībn Māṣārrāḥ
Ībn Māṣārrāḥ lahir di Córdoba  pada 269 H/883 M,hidup disana sampai 20-an tahun, kemudian terpaksa menyingkir dari Andalusia dan pergi ke dunia Islam belahan timur. Menurut catatan yang ada, ia pernah berjumpa di mekkah dengan dua sufi ini: Nahrajuri  (w.330 H/941 M) dan Ābū ṣāі Ībn Mūḥāmmāḍ Ībn іyāḍ Ībn āl-‘Ārābі (w.341 H/952 M). Tidak diketahui berapa lama ia berada di wilayah kawasan timur Dunia Islam. Tapi ada informasi yang menunjukkan bahwa pada tahun 300 H/912 M (pada tahun itu Abdur Rahman III mulai menjadi penguasa Córdoba  dan bersikap toleran) ia dan para pengikutnya sudah berada pada sebuah zawiah (perkampungan kaum sufi) di Siera, dekat Córdoba , menjalani kesufian. Di zawiah itulah ia menetap sampai wafat pada tahun 319 H/931 M.
Ia menganut paham emanasi, yang lebih mirip dengan kerangka emanasi plotinus. Menurutnya, Tuhan adalah wujud pertama, pencipta, maha mengetahui, maha berkehendak, dan sebab pertama atau sebab dari segala sebab akibat pertama sebagai ciptaannya yang langsung adalah unsur, yang oleh para ahli di terjemahkan sebagai materi pertama, yang bersifat rohaniah dan menjadi sumber bagi wujud potensial dan wujud yang mengandung kejamakan. akibat kedua yang di hasilkan Tuhan melalui unsur adalah āl-āql (akal). Selanjutnya ciptaannya yang ketiga, melalui dua pertama, adalah ān-nāfṣ (jiwa). Ciptaannya yang ke empat, melalui tiga pertama, adalah natur semesta (tabiat umum), dan ciptaannya yang kelima, yang sudah bersifat tersusun (mūrākkāb).[15]
Mengenai jiwa manusia, Ībn Māṣārrāḥ memiliki pandangan bahwa jiwa manusia yang bersifat individual adalah bagian dari jiwa universal (ān-nāfṣ). Keberadaan jiwa itu di dalam tubuh manusia dipandang sebagai keberadaan dalam penjara. Manusia haruslah melepaskan jiwanya dari penjara badan denag melakukan perjalanan spiritual mendekati Tuhan, seperti yang diajarkan dalam tasawuf. Untuk ini, meneurut Ībn Māṣārrāḥ, falsafat mampu menghasilkan kemauanyang kuat dala jiwa untuk menjauhi kehidupan duniawi yang rendah. Buah dari perjalanan spiritual tasawuf ini adalah datangnya karunia Tuhan berupa penyiaran jiwa/ hati dengan sinar Īlāhі, dan itulah mā’rіfāṭ yang memberikan kebahagian yang sejati.
Seperti umumnya para failasuf muslim dan sebagian para sufi, Ībn Māṣārrāḥ juga menganut paham bahwa kebangkitan manusia kelak di hari akhirat adalah kebangkitan rohani, dan bukan kebangkitan jasmani. Hukuman api neraka yang menyala nyala itu tidak dipahaminya dengan arti hakiki, tapi dengan arti majazi. Pahamnya ini menjadi salah satu sebab timbalnya reaksi negatif di kalangan para fūkāhā atau ulama terhadap dirinya. Ia mendapat tuduhan dari para fukaha sebagi orang yang menganut faham bahwa Tuhan tidak mengetahui peristiwa peristiwa partikular, kecuali setelah peristiwa peristiwa itu terjadi. Tuduhan tersebut keliru karena karena bagi Ībn Māṣārrāḥ, ilmu Tuhan adalah sebab bagi munculnya peristiwa-peristiwa partikular itu.[16]
Miguel Asín Palacios[17] mengatakan bahwa falsafah mistik Ībn Māṣārrāḥ hanyalah dapat dipahami oleh kalangan tertentu saja atau bersifat esoterik. Asin menjelaskan ketertarikan Ībn Māṣārrāḥ terhadap falsafah Yunani, yaitu Neoplatonisme, yang kemudian dituduh bid'ah merupakan awal ia menyembunyikan ajarannya.[18] Keadaan ini cukup menjelaskan kelangkaan sumber daya untuk mengetahui sistem falsafah Ībn Māṣārrāḥ.[19] Sebuah biografi singkat dari Ībn Māṣārrāḥ (883-931) berikut, Asin berpendapat kelanjutan budaya Iberia yang sudah ada antara pribumi Hispanik yang setelah penaklukannya, masuk Islam. Pada waktu itu Muslim penguasa menghadapi kerusuhan politik yang berat, ditantang oleh pemberontak bersenjata seperti 'Umar Ībn Hafsun; sesuai dengan Emir menunjukkan sedikit toleransi bagi para pembangkang agama seperti Ībn Māṣārrāḥ. Ībn Māṣārrāḥ merasa terdorong untuk melarikan diri, bepergian ke Qairawan dan Mekkah. Namun akhirnya ia berhasil kembali ke Córdoba di bawah kepala pemerintahan berikutnya, dan untuk mengatur Sekolah nya yang berisi unsur sufi.
Mengacu pada Ībn Hāẓm Córdoba  di dalam fіṣolnya dan sā'іd Toledo di dalam ṭābāqāṭnya āl-Umām. banyak memberikan informasi bahwa ajaran Ībn Māṣārrāḥ adalah bahwa ia merupakan pembela atau memiliki semangat falsafah Empedokles.[20] Sejarawan oriental kemudiannya mengkonfirmasikan fakta ini dan memberi suatu garis besar mengenai  falsafah itu  pada waktu yang sama. Mereka adalah āl-Ṣḥāḥrāẓūrі di dalam rāwḍāḥnya: āl-Ṣḥāḥrāṣṭānі di (dalam) mіlālnya; Ībn abī Uṣaybі'ah di (dalam) Uyūn āl-Anbā’ fi Ṭābāqāt al- Aṭіbbā’; āl-Qifṭī dalam Tā’rikh āl-Hūkāmānya.[21]
Berikut adalah metode falsafah Ībn Māṣārrāḥ yang menganut sistem Empedokles palsu dalam bukunya Miguel Asín Palacios The Mystical Philosophy of Ībn Māṣārrāḥ and His Followers:
1.      Keunggulan Dan Kerahasiaan Falsafah
Salah satu murid dari Empedokles bertanya, yang mana adalah ilmu pengetahuan yang paling mulia? Kemudian Empedokles menjawab: "studi falsafah, adalah tidak mulia dan luhur dan penting bahwa setiap orang yang mempersembahkan dirinya harus dimiliki Roh yang murni dan tulus, halus kuasa penghakiman, kapasitas untuk memahami tanda-tanda dan selain sedikit keasyikan dengan hal-hal dunia ini. Keunggulan dan kemuliaan falsafah adalah diri yang menunjukkan melalui esensi dan definisi sendiri. Falsafah, akibatnya, menyinari pemahaman dengan cahaya ilahi luhur agar pemahaman dapat mencarinya.
2.      Psikologi
Siapa pun yang berpura-pura untuk mencapai pengetahuan tentang makhluk tertinggi yang dimulai dengan bahan utama yang akan mengalami kesulitan besar dalam memahami mereka. Dialah yang akan berhasil dalam mencapai pengetahuan yang tertinggi.
3.      Metoda Psikologi yang rahasia
Tak seorangpun dapat mengenal jiwa kecuali jika ia memiliki jiwa yang murni, bersih yang adalah pemilik dan menguasai tubuhnya. Orang semacam itu kemudian akan tahu apa jiwa dan akan melihatnya melalui visi sesuai karena jiwa tidak jasmani dan rohani. Mayoritas orang yang diberkahi dengan sempurna jiwa, jiwa-jiwa yang seperti tubuh kurang beberapa anggota, mereka menolak bangsawan, Kecantikan, kesederhanaan, dan kekekalan jiwa.
4.      Kesederhanaan jiwa
Jiwa merupakan zat sederhana yang bergerak oleh diri dan terus ada. Dunia sederhana ini tidak diambil untuk menerapkan hal-hal sederhana ragawi. Ini berlaku untuk hal-hal yang sederhana dalam konsep mental mereka dan dalam pendapat dicapai dengan adalah hal-hal rohani yang bersifat sederhana.
5.      Kesederhanaan yang absolut, terpenting yang sedang
Pencipta tidak pernah berhenti untuk menjadi apa pun kecuali keberadaannya. Dia adalah pengetahuan murni, murni akan, kemurahan hati, kekuatan, kekuasaan, keadilan, baik, dan kebenaran. "Empedokles adalah yang pertama untuk menyangkal bahwa esensi dari pencipta memiliki atribut, ia mengatakan: inti dari pencipta dalam adanya sebaliknya. Hidup dan pengetahuan adalah dua gagasan relatif yang tidak melibatkan, oleh kebutuhan, keragaman esensi." Empedokles adalah pertama untuk substain identifikasi ide-ide yang dilambangkan oleh sifat ilahi, menegaskan bahwa mereka semua telah dikurangkan kepada satu hal. Oleh karena itu walaupun pengetahuan, kemurahan hati dan kekuasaan yang dikaitkan dengan Tuhan, dia tidak benar-benar diberkahi dengan entitas berbeda yang dilambangkan oleh mereka nama yang berbeda. Sebaliknya dia berada dalam kenyataan sederhana, yang benar-benar tidak dikalikan di pula.
6.      Pemahaman terpenting
Bahasa manusia tidak dapat mengungkapkan apa yang ada dalam memahami karena kedua lebih besar dari yang pertama. Pemahaman ini sederhana, sementara bahasa majemuk. Bahasa ini dibagi menjadi bagian-bagian; pemahaman tak terpisahkan, satu, dan pemersatu yang dibagi. Maka bahasa tidak dan seharusnya tidak menggambarkan pencipta dengan lebih dari satu atribut tunggal, mengatakan, dia dan tidak ada makhluk-makhluk dua dunia, adalah sederhana dan tidak senyawa. Untuk mengatakan dia, dan tidak ada makhluk-makhluk, adalah untuk menegaskan bahwa makhluk dan makhluk bebas diciptakan.
7.      Pergerakan Dan Kepasifan Terpenting Yang sedang
Empedokles mengatakan bahwa pencipta berkaitan dengan jenis tertentu gerakan dan ketenangan, mengatakan bahwa Pencipta bergerak dengan semacam ketenangan. Kemudian, karena ia adalah pencipta kedua makhluk tersebut, ia harus lebih besar dari mereka, sekarang bahwa ia adalah penyebab setiap bergerak dan sedang beristirahat.
"Phytagoras dan semua lain failasuf, bahkan Plato, mengikutinya dalam teorema ini. Zeno penatua, Demokritus dan para penyair Yunani berpikir bahwa Allah adalah dalam gerakan. Demokratis, di sisi lain, menegaskan bahwa ia adalah ketenangan, bergerak, karena gerakan ada hanya dalam waktu."


8.      Asal dunia oleh Pancaran
Arti kemudian teorema Empedokles adalah berikut: gerakan dan ketenangan dalam intelek dan jiwa dimengerti hanya dalam arti dari tindakan dan pasif. Kebijaksanaan, menjadi entitas yang sempurna 'dalam actu' adalah ketenangan, adalah salah satu, dan tidak perlu untuk bergerak untuk menjadi agen. Jiwa, menjadi entitas yang tidak sempurna yang cenderung ke arah kesempurnaan, dalam gerakan dan mencari kelas (dari kesempurnaan) intelek. Menurut ini, intelek dalam ketenangan dengan semacam gerakan, pada intinya, sempurna dalam tindakan, agen yang mengambil jiwa dari kemungkinan untuk bertindak. Undang-undang adalah jenis gerakan dalam ketenangan, sebagai kesempurnaan adalah semacam ketenangan dalam gerakan, yang mengatakan: intelek sempurna dari yang lain. Dalam hal yang sama, itu tepat, sesuai dengan ide-ide Empedokles dan mereka yang mengikutinya, untuk atribut pencipta gerakan dan ketenangan.
Allah adalah pencipta dan tidak ada yang lain. Ini tidak berarti bahwa ia diciptakan untuk sesuatu atau bahwa sesuatu yang sezaman dengannya. Dengan demikian, kemudian ia menciptakan hal sederhana. Setelah itu, hal-hal sederhana diciptakan dengan kesederhanaan pada penciptaan pertama atau primal masalah. Setelah itu, dia memberi untuk menjadi hal yang kompleks. Allah adalah, oleh karena itu, pencipta menjadi dan tidak ada objek intelijen, pada alasan kuasa estimatio. Yang mengatakan, bahwa Allah adalah pencipta contraries dan opposities Apakah dimengerti, aneh, atau mencolok.
9.      Yang dipancarkan adalah yang berikut Kepada Penyebab
Pencipta bukan oleh jenis pra wujud akan tetapi hanya dalam arti dimana dia adalah penyebabnya, yakni di sebanyak sebagai dia pengetahuan dan akan. Jadi sang pencipta yang telah menjadikan bentuk adalah penyebab mereka.
10.  Hirarki Pancaran
Efek pertama adalah masalah mendasar. Efek kedua (disebabkan) melalui mediasi yang terakhir, yang intelek. Efek ketiga (disebabkan) melalui mediasi keduanya, adalah jiwa. Ini (tiga) adalah sederhana zat sebuah produk sederhana, setelah mereka datang untuk senyawa.


11.  Cintai dan Benci, Prinsip Terpenting yang Penting Arti
Masalah mendasar sederhana dalam hubungannya dengan esensi dari kecerdasan semesta, yang di bawah ini. Tetapi hal ini tidak sederhana dalam arti yang mutlak. Hal ini tidak benar-benar satu dalam hubungannya dengan esensi dari penyebab. Hal ini terjadi kerana setiap efek untuk komposit, dengan komposisi ideal atau mempunyai kesadaran yang tajam.
Masalah mendasar ini pada dasarnya mengubah cinta kasih dan kebencian. Dari prinsip-prinsip dua bahan-bahan sederhana rohani dan jasmani zat senyawa telah dihasilkan. Cinta dan benci kemudian dua kualitas atau bentuk masalah mendasar dan dua prinsip yang mendasari semua makhluk.
12.  Mencintai, Properti atau Milik Jiwa, Benci Alam
Properti jiwa universal, adalah cinta. Ketika merenungkan intelek dan melihat keindahan dan kemegahan, menyukainya sebagai kekasih bergairah mengasihi objek semangat ini, dan diinginkan untuk bersatu dengan itu, dan mengulurkan ke arah itu.
13.  Hubungan antara Yang pertama Lima Pancaran: Terpenting Berartilah, Akal, Jiwa, Alam, dan Perihal Sekunder
Jika jiwa tidak sederhana akan tidak ada perpanjangan difusi atau komunikasi juga akan bersatu cahaya beberapa (hubungan) dengan orang lain. Hal ini karena tiga hubungan lima gratis perlindungan luar (cortezas). ada tiga hubungan sederhana, dan spiritual campuran saling satu dengan yang lain. Masing-masing memahami atau menyelubungi yang di bawah ini.
14.  Jiwa-Jiwa Tertentu; Pancaran Jiwa Yang universal
Ketika masalah mendasar yang direproduksi di intelek dimengerti dan spiritual bentuk-bentuk yang dimiliki, dan pada gilirannya intelek direproduksi dalam jiwa apa yang diterimanya dari masalah mendasar, jiwa universal juga direproduksi dalam sifat universal apa yang diterimanya dari intelek. Kemudian tiga muncul di alam shell, yang menyerupai jiwa tidak juga jauh kurang intelek, karena itu rohani dan halus. Ketika intelek diarahkan dengan tatapan di alam dan melihat di dalamnya Roh dalam tubuh, tidak diperpanjang lebih dari itu yang melebihi alam berdasarkan pandangan intelek brilliant lain indah, mulia, membentuk, intelek yang mengatur dan mengarahkan mereka dan akhirnya memisahkan kemudian menjual dari mereka bubur untuk meningkatkan mereka ke dunia mereka sendiri.
Jiwa-jiwa tertentu karena itu adalah bagian dari jiwa universal seperti partikel matahari yang bersinar melalui screvices sebagai tempat tinggal. Sifat Universal adalah efek jiwa universal. Ada perbedaan yang mencolok antara bagian dan efek yang adalah dua hal yang berbeda.
15.  Empat Kategori Jiwa
Jiwa vegetatif adalah hewan dan vital jiwa, yang merupakan intelektual, jiwa. Semua itu adalah di bawah kulit yang di atas dan di atas itulah daging buah atau medula. Empedokles kadang-kadang menunjuk kulit dan medula dengan kata-kata tubuh dan jiwa. Dengan demikian ia mengatakan bahwa jiwa vegetatif tubuh jiwa penting, dan bahwa yang terakhir adalah semangat mantan secara berturut-turut sampai mencapai intelek. 
16.  Ilmu fisika Dan Ilmu semesta
Dunia ini terdiri dari empat elemen, di samping yang ada tidak ada yang lebih sederhana.
Tubuh tersembunyi atau laten beberapa dalam orang lain. Oleh karena itu tidak generasi atau korupsi, atau transformasi substancial, atau pertumbuhan organik ada. Udara tidak dikonversi atau berubah menjadi api, atau air ke udara. Ada hanya kondensasi (mekanik pengoperasian) dan rarification, penyembunyian dan penampilan, komposisi dan dekomposisi. Sintesis terjadi hanya melalui cinta dalam senyawa. Analisis terjadi hanya melalui kebencian, di tubuh yang hancur.
Dalam generasi manusia, molekul organik embrio yang disebarluaskan pada waktu yang sama dalam air mani dari laki-laki dan perempuan. Nafsu sensual mendorong kedua molekul untuk menggabungkan.
17.  Pre-Existence, Dosa, dan penyelamatan Jiwa-Jiwa
Empedokles setuju dengan plato mengatakan bahwa jiwa memblokade dan sangat ditindas di tubuh yang tidak mampu berbicara, dan bahwa tubuh adalah bagi jiwa seperti Gua (gua atau gua). Tapi Empedokles panggilan besi tubuh (karat atau besi oksida), walaupun nama itu berlaku untuk semua dunia ini secara umum dan tidak secara eksklusif bagi tubuh manusia.[22]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Zaman pertengahan ialah zaman dimana Falsafah Abad Pertengahan dicirikan dengan adanya hubungan erat antara agama Kristen dan falsafah. Abad Pertengahan memiliki sebutan lain misalnya abad kegelapan, jaman skolastik atau masa patristik, yang semuanya menggambarkan corak pemikiran falsafah dan keilmuan yang dibentuk sesuai dengan perkembangan peradaban Kristen.
Falsafah Barat pada Abad Pertengahan sendiri merupakan suatu arah pemikiran yang berbeda sekali dengan arah pemikiran dunia kuno. Falsafah barat Abad Pertengahan masih bergerak dalam belenggu kekuasaan teologi dan iman Kristen (Theosentris). Falsafah barat Abad Pertengahan dibagi menjadi 2 zaman yaitu, zaman patristik dan zaman skolastik.

B.     Kritik dan Saran
Untuk lebih cepat memahami makalah ini penulis menyarankan untuk membaca dengan teliti dan berulang-ulang.
Penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Sehingga kritik dan saran pembaca sangat kami harapkan untuk kesempurnaan tugas selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Asín Miguel Palacios (1871-1944)
Mustofa, H. A., Akhlak Tasawuf  (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
Trimingham, J. Spencer, The Sufi Orders In Islam (New York: Oxford Yuniversity Press, 1973).
Siregar, H. A. Rivay, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. II.
Bakhtiar, Amsal, Falsafah Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010).
Syukur, Amin, Menggugat Tasawuf  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
āt-Ṭāfṭāẓānі, Ābū āl-Wāfāāl-Gḥānіmі, Sufi dari Zaman Ke Zaman, Terj. Āḥmād Fār’i Usmān, (Bandung: Pustaka Bandung,1985).
Māhyūddіn, Akhlaq Tasawuf  (Jakarta: Kalam Mulia, 1999).
Anwar, Mosihon dan Solihin, Mukhtar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000).
Dahlan, Abdul Aziz, Prof. Dr., Pemikiran Falsafi dalam  Islam, (Jakarta, 2002).


[1] H. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf  (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm. 202.
[2] J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders In Islam (New York: Oxford Yuniversity Press, 1973), hlm. 1.
[3] H. A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. II, hlm. 32.
[4] Ibid.,, hlm. 36.
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 10.
[6] Amin Syukur, Menggugat Tasawuf  (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 39.
[7] Ābū Wāfā’ āl-Gḥānіmі āṭ-Ṭāfṭāẓānі, Sufi dari Zaman Ke Zaman, Terj.Ahmad Far’i Ustman, (Bandung: Pustaka Bandung,1985), hlm. 187.
[8] Mahyuddin, Akhlaq Tasawuf  (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hlm. 69.
[9] Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 50.
[10] Op. Cit., Māhyūddіn, Akhlaq Tasawuf, hlm. 70.
[11] Op. Cit., Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 51.
[12] Ibid., hlm. 51.
[13] Op. Cit., Rosihon Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, hlm. 65.
[14] Ibid., hlm. 66.
[15] Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan. Pemikiran Falsafi dalam  Islam, (Jakarta, 2002), hlm. 141.
[16] Ibid  hlm; 142.
[17] Miguel Asín Palacios (1871-1944) adalah seorang Spanyol sarjana studi Islam dan bahasa Arab, dan Katolik Roma imam. Ia terutama dikenal untuk menyarankan Muslim sumber untuk ide-ide dan motif hadir di Dante's Divine Comedy, yang ia membahas dalam bukunya La Escatología musulmana en la Divina Comedia (1919). Dia menulis tentang Islam abad pertengahan, secara ekstensif pada āl-Gḥāẓālі (Latin: Algazel). Sebuah buku besar El Islam cristianizado (1931) menyajikan studi tentang tasawuf melalui karya-karya Mūḥyіddіn bin 'Ārābі ( Sp: Mohidin Abenarabe) dari Murcia di Andalusia (abad pertengahan al-Andalus). Asin juga menerbitkan artikel komparatif lainnya mengenai pengaruh Islam tertentu tentang agama Kristen dan mistisisme di Spanyol. Juga yang termasuk penulis dari buku The Mystical Philosophy of ibn Masarra and His Followers.
[18] Miguel Asín Palacios, The Mystical Philosophy of Ībn Māṣārrāḥ and His Followers, (1914, 1978), hlm. 30-42.
[19] Miguel Asín Palacios, Ibid., hlm. 43.
[20] Miguel Asín Palacios, Ibid., hlm. 44.
[21] Ibid., hlm. 44.              
[22] Ibid.

0 komentar:

Posting Komentar