Minggu, 25 Desember 2016

METODOLOGI PENELITIAN ILMIAH VERSI BARAT DAN ISLAM



METODOLOGI PENELITIAN ILMIAH VERSI BARAT DAN ISLAM
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas Ujian Tengah Semester pada mata kuliah Sains dan Agama
Dosen              : Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara


logo_uin - Copy

Oleh                : Via Elga Susilawati
11140331000008


JURUSAN AQIDAH DAN FALSAFAH ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Metode ilmu pengetahuan bertitik-tolak dari pertanyaaan bagaimanakah cara mendapatkan pengetahuan secara ilmiah?. Ilmiah artinya mengetahui pengetahuan sebagaimana adanya. Misalnya bintang kecil dilangit yang biru. Tentu kit tahu bahwa itu tidak kecil dan ketika ada bintang pun langit tidak biru. Jika berbicara ilmiah, maka itu belum ilmiah, karena pengetahuan kita tentang bintang itu belum sebagaimana adanya atau masih kesan indera saja. Untuk mencapai pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya, maka kemudian ada metodologi ilmiah menjadi penting. Karena dengan metodologi ini, maka kita akan bisa mencapai pengetahuan objektif. Karena itu para saintis terus mencari sampai mendapatkan pengetahuan yang memuaskan.
Metodologi ilmiah itu akan membawa kita pada pengetahuan yang lebih sejati, benar, dan ilmiah. Jika kita berbicara metode ilmiah di bidang sains, itu ada maka mereka hanya membatasi metode ilmiah itu pada satu saja yaitu metode observasi atau juga disebut eksperimen. Dalam bahasa arab disebut tajribi. Artinya berdasarkan pengalaman. Kata yang berkaitan dengan tajribi adalah mujarrab artinya sudah teruji. Di Barat, Karena ilmu dibatasi hanya pada bidang-bidang fisik, jadi objek ilmiah dalam dunia Barat adalah yang fisik. Karena mereka tidak percaya kepada yang non fisik. Pandangan sekuler tidak percaya pada pandangan yang tidak bisa di indera atau di verifikasi melalui pengamatan indera. Bagi sains modern, hal-hal yang metafisika, itu tidak masuk ke dalam bidang ilmiah. Bahkan pada golongan yang akhir-akhir ini, psikologi diarahkan pada jiwa. Tapi menurut sains modern, jika jiwa tidak bisa diamati, maka ia tidak termasuk ilmiah. Jadi menurut mereka, bahwa yang diamati tentng jiwa itu adalah sikap manusia. Maka munculah madzhab psikologi yang bernama (behavior science).
Sedangkan menurut Muhammad Abed al-Jabiri[1], metode ilmu pengetahuan dalam Islam dapat diperoleh dengan 3 cara, yaitu: (1). Metode Bayani, (2). Metode Burhani, (3). Metode Irfani. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan ketiga metode tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Hubungan Sains dan Agama
Agama menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), adalah sistem yang mengatur tata keimanan dan kepribadian terhadap Tuhan serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Tempat tinggal manusia dimana manusia dapat menemukan makna dan inti dari kehidupan. Sedangkan sains adalah sesuatu yang dapat mengurai dan menjelaskan keunikan dari alam semesta meliputi fisika, kimia, geologi, botani, zoologi dan lain sebagainya.
Sekalipun antara keduanya memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, tidak berarti hubungan keduanya berjalan harmonis tanpa masalah. Sains dan agama seringkali menjadi perdebatan sengit antara kaum ilmuan dan agamawan. Sains mengklaim bahwa agama tidak bisa menyentuh ranah sains. Agama pun mengatakan bahwa sains hanyalah sebuah pemikiran yang tidak ada puasnya untuk meneliti apa yang ada di dunia ini yang padahal sudah dijelaskan pada  kitab suci masing-masing agama. Akhirya pemikiran yang fundamental ini menimbulkan keributan antara sains dan agama. Keduanya dikatakan tidak dapat bersatu.
Sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing.[2]
Pertentangan Galileo dan Gereja Katolik misalnya, yang mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada dimensi pertama dan kedua dan sebetulnya juga terdapat unsur politis yang terdapat disitu.
Contoh kasus dalam hubungan konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo atas aspek pemikirannya tentang teori Copernicus, yakni bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari, padahal otoritas gereja meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Oleh karena demikian maka Galileo diadili pada tahun 1633.[3] Contoh ketegangan tersebut sekaligus menandai adanya titik persentuhan antara ilmu dan agama artinya pada titik persentuhan itu kita dapat berbicara juga mengenai kemungkinan melakukan integrasi keduanya.
Sementara disisi lain, sebahagian saintis berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan dipahami. Penganut paham ini cenderung memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di luar sains. Sedangkan agama, bagi sebahagian kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah. Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains.[4]
Ada beberapa pernyataan yang menyatakan bahwa sains bertentangan dengan agama dan tidak mungkin disatukan. Namun, Einstein dalam bukunya menyatakan bahwa ia tidak pernah menganggap hubungan antara sains dan agama sebagai sebuah antitesis. Sebaliknya ia memandang sains dan agama adalah dua hal yang saling melengkapi atau saling bergantung satu sama lain. Sebuah hubungan sebagaimana yang tergambar dalam metaforanya: “Sains tanpa agama lumpuh, agama tanpa sains buta”.
Agama lahir sebagai pedoman dan panduan bagi kehidupan manusia. Agama lahir tidak dengan rasio, riset, dan uji coba belaka melainkan lahir dari proses penciptaan dzat yang berada di luar jangkauan akal manusia dan penelitian pada objek-objek tertentu. Agama menjadi titik akhir dari suatu perjalanan jauh manusia dalam mencari kepuasan hidup yang tidak bisa didapatkan dalam filsafat dan sains.
Juga sains, ia lahir dari kekaguman para failasuf yang berusaha mencari kepuasan atas jawaban rasa penasarannya. Sains melengkapinya dengan hal-hal yang tidak hanya mengedepankan logika. Sains sudah mulai merambah ranah yang lebih praktis dan logis yang diperolehnya dengan berbagai cara yang cukup sistematis. Namun manusia tetap tidak dapat tenang dan bahagia hanya dengan berbekal sains dalam kehidupannya.
B.     Metodologi Ilmiah
Metode ilmu pengetahuan bertitik-tolak dari pertanyaaan bagaimanakah cara mendapatkan pengetahuan secara ilmiah?. Dalam mendapatkan pengetahuan yang ilmiah atau dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya  terdapat beberapa metode-metode atau cara-cara agar mendapatkan suatu pengetahuan yang orisinil, kata ilmiah berasal dari kata Arab namun biasanya para sarjana memahaminya dalam arti “scientific” sehingga kata metode-metode ilmiah dipahami dalam artian “scientific methods” namun disini terdapat perbedaan scientific methods dengan metode ilmiah karena dalam scientific biasanya hanya dibatasi pada bidang-bidang empiris, dalam islam kata islam tidak hanya dibatasi pada bidng fisik tetapi juga namun juga pada bidang-bidangnon empiris seperti matematika dan metafisika  dan karena pada dasarnya sifat objeknya berbeda dengan yang empiris ilmu menuntut metode yang berbeda.[5]
Menurut Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag.[6], dalam bukunya Epistemologi Pendidikan Islam, ada beberapa istilah untuk menyebutkan kata ‘ilmu pengetahuan’, al-‘ilm dan sains. Dalam koteks Islam, memandang bahwa sains tidak menghasilkan kebenaran absolut. Istilah yang tepat untuk mendifinisikan pengetahuan adalah menggunakan kata al-‘ilm karena memiliki kebenaran absolut dan dapat dipertanggungjwabkan. Sumber al-‘ilm berasal dari wahyu atau al-Qur’an, semuanya valid. Maka menurut Islam sumber dari al-‘ilm memiliki sanad yang lebih kuat dibandingkan sains versi Barat karena bersandar langsung kepada Allah Swt.
Lebih jauh lagi Perter R. Senn mengemukakan ,”metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peaturan metode tersebut. Secara sederhana metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui sesuatu.[7]
Dengan demikian, harus disadari bahwa metodologi adalah masalah yang sangat penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu. Sejarah membuktikan bahwa semua ilmu tumbuh melalui metodologi baik ilmu sosiologi, ekonomi, antropologi dan sebaginya. Metodologi memiliki misi memecahkan persoalan-persoalan yang diajukan  berdasarkan temuan-temuan baru, guna akumulasi pengetahuan, baik mengenai “dunia alam” maupun “dunia sosial”. Metodologi senantiasa menemukan temuan-temuan baru untuk mewujudkan dinamika ilmu pengetahuan. Hasil temuan baru ini dilaporkan dan dikomunikasikan sehingga terbuka untuk diketahui dan diuji oleh siapapun.[8]
1.      Metode Tajribi
Tajribi artinya eksperimen yang dipakai sebagai metode ilmiah untuk meneliti bidang-bidang empiris jadi termasuk didalamya metode observasi. Pengamatan atau observasi adalah aktivitas yang dilakukan  makhluk cerdas terhaap suatu proses atau objek dengan maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan suatu penelitian. Ilmu pengetahuan biologi dan astronomi mempunyai dasar sejarah dalam pengamatan oleh amatir. Di dalam penelitian, observasi dapat dilakukan dengan tes, kuesioner, rekaman gambar dan rekaman suara.
Sebenarnya metode ini sudah dipakai pada masa-masa awal kebangkitan ilmiah islam yakni abad kesembilan sepuluh. Metode imni sangat penting mengingat pengamatan terhadap benda-benda melalui alat indra tidak selalu akurat karena terdapat kekurangan yang intrinsic terhadap alat indra kita maka diperlukan observasi. Sebagai contoh kekurangan alat indrawi manusia: mata tidak bisa melihat dierinya sendiri, mata tidak bisa melihat hal yang terlal jauh danhal yang terlalu dekat, mata tidak bisa melihat hal-hal yang ada dibalik tirai sementara akal bisa, mata hanya bisa melihat hal-hal yang lahir tetapi akal bis melihat entitas rasional disamping objek-objek indra.
Mengingat banyak kekurangan yang ada pada alat indrawi kita, bagaimana kita dapat mendapatkan pengetahuan yang orisinil maka diperlukanlah suatu metode yang digunakan untuk mengamati objek-objek yang ditelitinya terdapat dua metode yang terdapat dalam tradisi islam yang dilakukan pada objek fisik, yakni level teoritis dimana ilmuan islam mengkaji dengan seksama dan kritis karya-karya ilmiah dari bidang fisika tertentu missal astronomi, kedokteran. Dan selanjutnya level praktis dimana para sarjana Muslim melakukan berbagai eksperimen untuk membuktikana atau menolak teori misalnya mengenai penglihatan yang akhirnya mereka dapat menyimpulkan bahkan menemukan metode baru.
Setelah para ilmuan muslim mendapatkan metode baru dan mendapatkan hasil akurat dan objektif terhadap sebuah benda untu mendapatkan kesalahan subjektif dari seorang pengamat maka para ilmuan muslim kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan Barat sampai taraf yang begitu canggih misalnya malakukan pengukuran yang lebih canggih seperti jsrsk yskni meter, kilometer dsn beban misalnuya kilogram, pon, pons maka munculah satuan-satuan ukuran.
Selain menciptakan alat ukur para ilmuan juga menciptakan alat untuk mempermudah sesuatu yang kecil dan tidak nampak bagi mata seperti mikroskop, metode tajribi juga harus mengikuti prosedur pengambilan putusan atau kesimpulan bagi pengamatnya itu baik bersifat deduktif bisa atau qiyas pengambilan kesimpulan dan prinsip-prinsip umum menuju yang khusus atau deduktif yakni menarik kesimpulan dari objek-objek partikular.[9]
2.      Metode Bayani
Secara etimologis, term bayani mengandung beragam arti yaitu: kesinambungan (al-waslu), keterpilahan (al-fashlu), jelas dan terang (al-zhuhur wa al-wudlhuh), dan kemampuan membuat terang dan generik. Sebagai sebuah episteme, keterpilahan dan kejelasan tadi mewujud dalam al-bayan al- ‘ibarat “perpektif” dan “metode” yang sangat menentukan pola pemikiran tidak hanya dalam lingkup “estetik-susastra”, melainkan juga dalam lingkup “logic-diskursif”. Dengan kata lain bayan berubah menjadi sebuah terminologi yang disamping mecakup arti segala sesuatu yang melengkapi tindakan mamahami.[10]
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali melalui inferensi (istidlal). Secara langsung artinya mamahami tes sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Secara tidak langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini bukan berarti akal atau rasio bisa babas menentukan makna dan maksudnya, tetapi harus bersandar pada teks. Dalam bayani, rasio diangggap tidak mampu memberikan penegtahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik bayani adalah aspek esoterik (syari’at).[11]
Dengan demikian, sumber pengetahuan bayani adalah teks (nash). Dalam ushul fikih yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan bayani adalah al-quran dan hadis. Karena itu, epistemogi bayani menaruh perhatian besar dan teliti pada proses transmisi teks dari generasi kegenerasi. Ini penting bagi bayani, karena benar tidaknya transmisi teks menetukan benar salahnya ketentuan hukum yang diambil. Jika transmisi teks bisa dipertanggungjawabkan berarti teks tersebut benar dan bisa dijadikan dasar hukum.Sebaliknya, jika transmisinya diragukan, kebenaran teks tidak bisa dijadikan landasan hukum.[12]
3.      Metode Burhani atau Logika
Objek pengetahuan dalam islam tidak hanya dibatasi pada hal yang fisik saja tetapi juga yang non fisik. Padahal kita tau bahwa indra kita memiliki kekurangan dalam mengetahui objek yang non fisik, maka untuk mengetahuinya kita membutuhkan alat bantu lain alat yang dimaksud adalah aql dalam tradisi islam, karena akal mampu mengetahui banyak hal yang tidak dapat dilakukan oleh indra, adapun beberapa contoh kelebihan akal: akal dapat melihat dalam artian dapat memahami bukan hanya objek-objek yang lain tetapi dirinya sendiri ia dapat mempersepsi dirinya sebagai yang mengetahui dan kuat ia dapat melihat pengetahuanya dengan dirinya.
Kedua mata tidak bisa melihat yang terlalu jauh dan terlalu dekat sementara akal dapat mempersepsinya karena jauh dan dekat tidak ada masalahnya pada akal dalam  sekejap akal dapat mengetahui yang ada dilangit yang tinggi dan dalam sekejap akal dapat turun dan menuruni inti bumi, sementara mata dapat melihat sesuatu yang ada dibalik cadat atau sesuatu yang tertutup tetapi akal dapat dengan mudah bergerak kedalam ‘arsy yang terletak dibalik hijb langit-langit, dan sementara akal hanya dapat melihat yang lahir maka akal dapat merasakan yang bati seperti cinta, kesedihan, masalah batin, jiwa, dan ruh. 
Burhan secara bahasa adalah argumentasi yang kuat dan jelas. Dalam istilah logika, al-burhan adalah aktifitas intelektual untuk membuktikan kebenaran suatu proposisi melalui pendekatan deduksi dengan cara menghubungkan proposisi yang satu yang telah terbukti secara aksiomatik. Dengan demikian, burhan merupakan aktifitas intelektual untuk menetapkan suatu proposisi tertentu.[13]
Untuk mendapatkan pengetahuan, epistemologi burhani menggunakan aturan silogisme. Dalam bahasa Arab, silogisme diterjemahkan dengan al-qiyas al-Jam’i yang mengacu pada makna ashal, mengumpulkan.[14]
Nalar burhani berpegang pada kekuatan natural manusia yang berupa indera dan otoritas akal dalam memperoleh pengetahuan.[15] Dengan demikian Agus Najib mengatakan dalam burhan, akal memiliki peran dan fungsi yang paling utama. Karena itu dengan menggunakan premis-premis logika yang konsisten, akal berusaha menemukan pengetahuan dari realitas yang ada (al-waqi’), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun keagamaan.
4.      Metode Irfani
Setelah menggunakan indra dan metode tajribinya ternyata kita masih membutuhkan alat dan metode lain untuk kesempurnaan ilmu manusia karena betapapun kelebihan akal masih ada batasanya dan masih banyak hal besar yang tidak dapat diselesaikan dengan akal. Dalam tradisi ilmiah islam, selain indra dan akal masih ada satu pengetahuan lagi yang diakui ilmuan muslim yakni hati (qalb) atau dalam filsafat disebut intuisi, perbedaan pengetahuan yang didapatkan oleh akal dan intuisi seperti mengetahui dan mengalami karena itu pengetahuan rasional selalu bersifat tak langsung karena untukk mengetahui sesuatu ia membutuhkan perantara. Menggunakan pengetahuan ini dengan cara membersihkan hati terlebih dahulu hal ini yang membedakan pengenalan intuisi dengan pengenalan indra, pengetahuan intuitis inilah yang kemudian biasa dikenal dengan metode irfani yang biasa digunakan oleh sufi.
Selain logika mencari pengetahuan juga dapat digunakan dengan menggunakan hati, yang begitu khusus sehingga seakan akan merupakan suatu macam tersendiri yakni intuitif, sebenarnya pengetahuan itu tetap termuat dalam rasionalitas manusia pada umumnya tetapi dilawankan dengan pengetahuan rasionalitas sejauh itu justru menekankan sistematika dan kekuatan metodis, kedua pengertian itu menurut dasar biotiknya secara global tetapi tidak ekslusif dialokasikan dalam dua belah otak manusia terutama menjadi sumber dalam kemampuan berbahasa bagi pemahaman perasaan orang lain, bagi fantasi, bagi feeling. Sedangkan sebelah kanan lebih menjadi sumberbagi kegiatan spasial, bagi perhitungan matematis, bagi logika lurus, bagi lazimnya disebut kegiatan rasionalitas. namun pembagian tugas itu tidak eksklusif karena sebelah lainya ikut aktif.[16]
Artinya, Irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan pengalaman langsung atas realitas spiritual keagamaan. Berbeda dengan sasaran bayani yang bersifat eksoteris, sasaran bidik 'irfani adalah bagian esoteris (batin) teks, karena itu, rasio berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spiritual tersebut. Secara terminologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadlah.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah isyraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-zawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqiyyah. Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkrit dari pengetahuan irfani.[17]
 ‘Irfan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan olah ruhani dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Dari situ kemudian dikonsepsikan atau masuk ke dalam pikiran sebelum dikemukakan kepada orang lain. Dengan demikian, secara metodologi, pengetahuan ruhani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan yaitu persiapan, penerimaan dan pengungkapan, baik dengan lisan maupun dengan tulisan.
Tahap pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan, seseorang biasanya harus menyelesaikan jenjang-jenjang kehidupan spiritual.
1.      Taubat
2.      Wara’
3.      Zuhud
4.      Fakir
5.      Sabar
6.      Tawakkal
7.      Ridha[18]
Kedua, tahap penerimaan. Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara iluminatif.[19]
Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses pencapaian pengetahuan ‘irfani, dimana pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau tulisan.[20]
Seperti para sufi, tahapan-tahapan tersebut adalah maqamat, yang akan mengantarkan mereka pada ma’rifatullah secara bathiniyah. Maka tidak salah jika al-Hallaj mengatakan ana al-khaq karena ia sudah hulul, pengetahuan tentang hulul, kaysf itu hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah merasakan. Akal pikiran tidak akan bisa menjangkau hal tersebut.


Daftar Pustaka
Abed Muhammad al-Jabiri, Bunyah al- ‘Aql al- ‘Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991)
Agus Muhammad Najib, “Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2 (Juli-Desember 2003)
Al-Qusairi mencatat ada empat puluh sembilan tahapan yang harus dilalui, sedang at-Thabthabai mencatat dua puluh empat jenjang, lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1977)
Arif Mahmud, “Pertautan Epistemologi Bayani dan Pendidikan Islam”, Al-Jami’ah Vol. 40, No. 1 (Januari-Juni 2002)
Bakker Anton dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)
Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002)
John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004)
Kartanagara Mulyadi, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006)
Kartanegara Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003)
Khodori Achmad Soleh, “M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam dalam Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003)
Qomar Mujamil, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: ERLANGGA, 2005)


[1] Dilahirkan di Maroko pada tahun 1936, merupakan seorang intelektual muslim kontemporer yang sangat disegani banyak kalangan dan mempengaruhi banyak pemikiran generasinya, khususnya peminat studi-studi keislaman (Islamic studies).
[2] John F. Haught, Perjumpaan Sains dan Agama; dari Konflik ke Dialog, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 2.
[3] John F. Haught, Ibid., hlm. 3.
[4] Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan, Antara Sains dan Agama, Terj. E.R. Muhammad, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 55-56.
[5] Mulyadi Kartanagara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam (Jakarta: Baitul Ihsan, 2006) hlm 183.
[6] Dilahirkan di Tuban, Jawa Timur pada 1 Maret 1965, merupakan seorang dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung, juga seorang peneliti baik di bidang pendidikan Islam maupun pemikiran Islam dan penulis artikel jurnal-jurnal kampus. 
[7] Lihat: Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: ERLANGGA, 2005), hlm. 20.
[8] Mujamil Qomar, Ibid.
[9] Ibid, Mulyadki Kartanagara, Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, hlm 187.
[10] Mahmud Arif, “Pertautan Epistemologi Bayani dan Pendidikan Islam”, Al-Jami’ah Vol. 40, No. 1 (Januari-Juni 2002), hlm. 13
[11] Muhammad Abed al-Jabiri, Bunyah al- ‘Aql al- ‘Arabi, Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991), hlm.38, Lihat A. Khodari Sholeh (ed.), “M. Abed al-Jabiri : Model Epistemologi Hukum Islam”, dalam “Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 233.
[12] Achmad Khodori Soleh, “M. Abid al-Jabiri : Model Epistemologi Islam dalam Pemikiran Islam Kontemporer”, (Yogyakarta : Jendela, 2003), hlm. 223.
[13] Al-Jabiri, Ibid., hlm. 46.
[14] Achmad Khodori Soleh, hlm. 250.
[15] Muhammad Agus Najib, “Nalar Burhani Dalam Hukum Islam (Sebuah Penelusuran Awal)”, Hermenia : Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, Vol.2. No.2 (Juli-Desember 2003), hlm. 224.
[16] Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990) hlm 25.
[17] Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan, Pengantar Epistemologi Islam (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003), h. 60-61.
[18] A. Khudori Soleh, Ibid.,hlm.241-242. Al-Qusairi mencatat ada empat puluh sembilan tahapan yang harus dilalui, sedang at-Thabthabai mencatat dua puluh empat jenjang, lihat Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 1977), hlm.49-72.
[19] Ibid., hlm.243-244.
[20] Ibid., hlm. 244.

3 komentar: